Jumat, 02 Maret 2012

BERBISNIS SAMBIL BERYADNYA

Di balik perkembangan tren serba beli banten jadi di kalangan masyarakat Hindu Bali, menjadi peluang bisnis tersendiri yang digarap sejumlah masyarakat. Tak terkecuali kalangan brahmana dari dalam geriya. Hal itu pula yang dilakukan Ida Ayu Isyawati (50 tahun) dari Geriya Telaga Sanur. Perempuan yang sebenarnya berasal dari Geriya Gelgel Telaga Sanur itu, hampir setiap hari datang ke Geriya Telaga Sanur untuk menggarap pesanan-pesanan banten.

Sudah lebih dari 20 tahun, Isyawati menjalani profesinya sebagai tukang banten.  Tak sekadar berbisnis, Dayu mengaku setia pada pekerjaannya karena ingin mengabdi pada Ida Pedanda Gde Telaga sekaligus beryadnya. “Sebenarnya kalau untungnya nggak seberapa. Cuma kita kerja senang. Senang meyadnya. Tiang mengabdi sama ratu peranda,” ujarnya.

Dalam bekerja, Isyawati dibantu oleh 7 orang perempuan yang kesemuanya masih terikat hubungan persaudaraan. Tak ada gaji tetap yang diberikan kepada ketujuh “pegawainya” itu. Mereka dibayar sesuai dengan keuntungan yang dihasilkan dari penjualan banten. “Berapa ye dapat untung, segitu dibagi. Jadi menyesuaikan. Kadang-kadang banyak, kadang-kadang ya sedikit. Ya, yang penting cukup untuk beli es,” ujarnya bergurau.

Pesanan banten biasanya datang dari berbagai kalangan, mulai dari pribadi-pribadi, rumah tangga, kantor pemerintahan, hingga perhotelan. Pesanan juga datang dari berbagai wilayah mulai dari Denpasar, Kuta, Nusa Dua, Kerobokan, hingga Tanjung Benoa. Isyawati menyebut ada beberapa hotel yang sudah menjadi langganannya seperti Hotel Melia Bali, Hotel Melia Benoa, maupun Kuta Beach Club Hotel. “Jadi setiap ada upacara di hotel-hotel itu, pasti pesan ke sini,” katanya.

Jenis banten yang dipesan juga beragam, tergantung pada kebutuhan. Mulai dari banten otonan, banten ngeteg linggih, banten melaspas, hingga banten piodalan di merajan atau padmasana. Isyawati dan saudara-saudaranya hanya khusus menggarap pesanan, tidak membuat canang sari untuk dijual di pasar atau warung-warung tepi jalan.

Jenis pesanan yang datang, biasanya menyesuaikan dengan hari baik berdasar kepercayaan Hindu Bali. “Kalau hari baiknya untuk manusa yadnya, biasanya pesanan yang banyak datang ya banten otonan, perkawinan. Kalau hari baiknya dewa yadnya, pesanan banten odalan yang banyak,” tambahnya.
Kepercayaan adanya hari baik dan hari buruk untuk kegiatan upacara, juga membuat para pembuat banten mempunyai masa libur tersendiri secara otomatis. Masa liburan itu biasanya datang saat sasih di mana tidak ada hari baik untuk kegiatan upacara. “Biasanya setelah Galungan, tidak ada hari baik. Jadi pesanan nggak ada. Ya, otomatis libur dah sampai menunggu ada hari baik lagi,” ujarnya.

Harga Menyesuaikan
Masalah harga, Isyawati mengaku tidak terlalu saklek. Biasanya, biaya yang dikenakan menyesuaikan dengan budget dan kemampuan dari si pemesan. Menurut dia, banten pada dasarnya merupakan yadnya yang harus disesuaikan dengan kemampuan, tanpa harus si pemilik gawe upacara memaksakan diri membuat upacara mewah. Itu juga sebabnya, ajaran Hindu memberi ruang bagi upacara dalam berbagai tingkatan, mulai tingkatan nista (paling sederhana), madya (sedang), hingga utama (besar).

Untuk upacara piodalan di merajan misalnya, Isyawati biasanya memberikan alternatif banten seharga Rp 2 juta, Rp 4 juta, dan Rp 8 juta. Penyesuaian harga itu, tentu berpengaruh pada kelengkapan banten. Namun dipastikan tidak akan mempengaruhi nilainya di mata Tuhan. “Karena pada dasarnya adalah ikhlas. Jadi yang penting keikhlasan,” tegasnya.

Harga banten itu pun biasanya menyesuaikan dengan harga bahan-bahan kebutuhan di pasar pada saat yang sama. Pasalnya, harga bahan-bahan kebutuhan banten seperti janur, buah, atau bunga biasanya mengalami kenaikan pada masa-masa tertentu seperti menjelang hari raya. “Ya, kalau nggak disesuaikan harganya, rugi kita,” ujar dia,

Selalu Segar
Dalam menggarap pesanan, lama waktu yang dihabiskan beragam. Untuk menggarap banten piodalan merajan misalnya, biasanya harus digarap selama 2 hari hingga lembur sampai tengah malam. Hal itu dilakukan agar banten yang dihasilkan tetap segar saat akan dipersembahkan. “Saya nggak bisa bikin banten jau-jauh hari, nanti hasilnya kering, saya nggak suka ngelihatnya. Saya aja nggak suka ngelihat, gimana yang beli kan? Jadi saya selalu usahakan banten itu dalam kondisi segar,” janjinya.

Jumlah permintaan diakui berfluktuasi dari bulan ke bulan. “Kadang-kadang banyak, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang nggak ada.”
Dalam bulan Januari 2011 ini saja, Isyawati mengaku menerima 5 pesanan banten berbagai bentuk dengan omset total mencapai Rp 50 juta. “Tapi untungnya nggak seberapa. Karena untuk belanja bahan saja bisa habis Rp 35 juta. Untungnya nggak seberapa, apalagi harus dibagi dengan 8 orang. Tapi ya kita bersyukur saja. Karena kita di sini untuk meyadnya,” tegasnya. (erv)  




Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU
                               TIDAK ADA JALAN MENGHINDAR


Tren serba beli banten jadi dalam pandangan ilmu kajian budaya, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana yang mendalami ilmu kajian budaya, Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU., menyebutkan tren itu berkembang karena kecenderungan masyarakat sekarang yang suka dengan hal-hal praktis.

“Itu memang kecenderungan yang sudah terjadi dan akan terus terjadi karena orang sekarang sudah cenderung praktis. Kebiasaan bekerjasama, gotong-royong, dan saling membantu, sudah hilang. Orang selalu berpikir waktu adalah uang. Dan itu sekarang sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak salah,” ungkapnya.
Bagi Kutha Ratna, tidak ada jalan untuk menghindar dari kecenderungan itu. Itu terutama karena kesibukan masyarakat yang semakin padat karena pekerjaan yang menuntut waktu 8 jam sehari. “Memang tidak ada jalan untuk menghindar. Karena itu memang dampak globalisasi,” tegasnya.

Banyaknya aktivitas jual beli banten, menurutnya, merupakan bentuk komodifikasi budaya.Hal itu menurutnya memang makin marak di era globalisasi. Tak hanya di Bali, kecenderungan yang sama juga terjadi di luar Bali maupun pada aktivitas agama-agama lain. Namun sebagai kawasan pariwisata yang bersentuhan langsung dengan dunia global, volume komodifikasi yang terjadi di Bali diakui cenderung lebih besar dibandingkan daerah lain.

Kecenderungan yang terjadi saat ini menurutnya memiliki sisi negatif. Pasalnya, proses pembuatan banten di rumah sebenarnya memiliki makna yang spesial, yakni adanya kecenderungan religi yang masuk ke dalam pikiran-pikiran kita. “Tapi sekarang, orang datang dari kerja, di pinggir jalan tinggal keluarkan uang lima ribu rupiah, langsung bisa ambil canang satu tas plastik, lalu sembahyang di rumah. Persentase kekhusukan itu kan berkurang sudah. Nilai yang ada dalam pikiran kita tentu jadi sedikit. Tapi kita tidak bisa menghindar dari itu,” tambahnya.

Bila kondisi serupa dibiarkan terus menerus, ia mengakui akan berdampak buruk pada budaya kita ke depan. Apalagi generasi muda saat ini seakan sudah biasa dengan kepraktisan-kepraktisan itu. “Jelas ini buruk untuk budaya kita ke depan. Jiwa gotong-royong, kebersamaan antara kita, masalah-masalah pemujaan terhadap Tuhan, itu kan sudah agak hambar, tidak seperti dulu lagi. Untuk mengaktifkan kembali, mungkin bidang keagamaan yang harus punya peranan,” harapnya. (erv)

SUMBER : Tabloid Galangkangin edisi II 2012

BERITA TERKINI

ARSIP POST