Sabtu, 24 Desember 2011

Koperasi Membangun Paradigma Baru

Adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan tentang paradoksa nasib pelaku-pelaku konomi yang terpinggirkan – Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Alangkah kelewat sangat ironis! Bahkan cenderung tragis! Cenderung mengenaskan! Betapa tidak?

Di masa lalu , di era otoriterianisme-etatis, era otokratisme-teknotaris, era demokrasi komando, di mana demokrasi berada dibawah satu garis komando (one line command of democracy) bukan saja telah mewarnai-tetapi lebih dari itu telah mengkooptasi hampir seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk aspek kehidupan berpolitik serta aspek kehidupan berusaha di bidang ekonomi. Itukah yang melatarbelakangi terjadinya gonjang -ganjing di negeri tercinta ini? Krisis ekonomi moneter. Krisis politik. Krisis moral. Krisis kemanusiaan. Dan krisis kebangsaan. Yang keseluruhannya itu secara komulatif memperpuruk negeri ini?

Memang, praktek-praktek kooptasi atas kehidupan berpolitik yang pada hakekatnya sebagai semacam pemasungan politik, pemasungan demokrasi, pemasungan atas hak-hak rakyat dibidang politik, sehingga pada dasa warsa 70-an dikenal adanya masa mengambang (floating mass) itu sesungguhnyalah hanya dirasakan sebagai meresahkan bagi kalangan masyarakat tertentu, kalangan lapisan elite, sekurang-kurangnya kalangan masyarakat yang lapisan menengah keatas, khususnya bagi kalangan politisi ataupun kalangan insan-insan partisan (dan tentunya juga kalangan intelektual yang merindukan terciptanya iklim perpolitikan ditanah air yang sehat, kondusif, sejuk, namun tetap demokratis -kental dengan nilai-nilai moral dan etika).

Akan tetapi, kooptasi di sektor ekonomi -yang menghadirkan praktek-praktek oligopoli, monopoli dan monopsoni, terlebih dengan jaringan konglomerasi yang nepotis itu, praktis rakyat atau wong cilik yang lapisan masyarakat terbawahlah yang paling merasakan dampak buruknya, yang paling menderita karenanya -yang secara ekstrem dapat dimaknai sebagai tumbal. Tumbal dari kooptasi tersebut. Tumbal dari kebijakan pembangunan ekonomi yang mengacu kepada laju percepatan pertumbuhan, namun yang hampir sama sekali tanpa diimbangi dengan upaya pemerataan pertumbuhan. Kebijakan mana yang secara transparan tak urung teramat menguntungkan usaha-usaha swasta yang besar, lantaran ditunjang dan ditopang dengan kemudahan-kemudahan yang menggiurkan dari pemerintah. Fasilitas kredit yang dikucurkan Bank Pemerintah misalnya, termasuk dalam rangka merangsang dan menggalakkan kalangan pemodal domestik guna menanamkan modalnya di dalam negeri atau agar mengakses realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)-dengan pengalokasian pinjaman dari Bank Pemerintah berikut dispensasinya berupa grace periode dan tax holiday masing -masing selama lima tahun. Yang berarti -sejak didirikan atau mulai beroperasinya perusahaan bersangkutan sampai selama lima tahun, tidak diperhitungkan suku bunga pinjamannya, dan selama itupun tidak dipungut pajak.

Padahal di sektor Usaha Kecil –Menengah dan koperasi yang selama ini, sekurang-kurangnya dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir -alangkah kelewat sulitnya untuk memperoleh kredit kelayakan usaha dari Bank Pemerintah, sekalipun dalam bentuk kredit komersial dengan suku bunga 18% hingga 20%. Apalagi untuk mendapatkan akses fasilitas kredit dengan dispensasi sedemikian menggiurkan sebagai yang dikucurkan kepada kalangan usaha besar tersebut. Sungguh seperti bumi dan langit perbedaannya. Perbedaan perhatian dan perlakuan dari pemerintah terhadap kedua golongan pelaku ekonomi dimaksud. Golongan pelaku ekonomi kelas kakap dan golongan pelaku ekonom kelas teri. Usaha besar -terus ditunjang dan ditopang hingga semakin besar. Usaha kecil menengah koperasi cukup dielus –elus dan dininabobokan, atau semacam dibonzaikan yang cenderung dipasung, hingga semakin kecil? Tidakkah hal itu bisa disebut sebagai diskriminatif? malahan terlalu diskriminatif? Yang tak urung yang lebih cenderung merupakan pemingggiran UKM dan Koperasi dari akses-akses ekonomi yang menjanjikan ?.

Menurut ilmu ekonomi -pada dasarnya manusia itu memanglah binatang ekonomi. Dan usaha swasta yang besar tak ubahnya sebagai binatang ekonomi raksasa. Sementara itu UKM dan Koperasi tidak lebih dari ekonomi binatang kecil atau malahan lebih kecil lagi, sekadar gurem barangkali (bandingkan aset mereka sebelum krismon di penghujung tahun 1996 :aset Usaha Swasta meliputi Rp.226,00 triliyun, dan BUMN beraset Rp.267,00 triliyun) sedangkan aset Koperasi hanya Rp.8,00 triliyun. Teori tentang kebinatangan manusia dibidang ekonomi ini kontekstual dengan sebuah ironi yang secara vulgar mengekstremisasi manusia sebagai homo homini lopus alias manusia sebagai srigala bagi yang lain, atau manusia sebagai jenis mahluk yang bernaluri srigala. Serakah. Rakus. Sadis. Ingin berkuasa sendiri. Mahluk lain dianggap sebagai mangsanya. Bahkan terhadap mahluk jenisnya sendiri yang berada diluar komunitasnya pun mesti dianggap sebagai lawan atau pesaingnya yang harus disingkirkan atau dilumatkan. Malahan sangat sesuai pula dengan historia anthropologi jenetiknya Darwin yang berteori bahwa nenek moyang manusia adalah Kera (jenis gorilla) dengan sifat dan wataknya khas pula. Serakah. Rakus. Mau menang sendiri. Mau kuasa sendiri, meski dengan cara-cara yang licik. Bukankah pada jamaknya usaha-usaha besar juga memiliki naluri serupa ? naluri ingin menguasai sebanyak-banyaknya segmen ekonomi sekaligus untuk menguasai seluas-luasnya jaringan ekonomi ? naluri untuk merengkuh segala peluang bisnis ? dan naluri untuk memangsa -semua yang bisa dimangsanya ? To be or not to be ?

Sekurang-kurangnya -fenomena-fenomena faktual di lapangan telah memperlihatkan kecenderungan demikian.

Era Reformasi

Banyak lontaran pendapat bahwa jalannya reformasi begitu tersendat-sendat, atau reformasi berjalan dengan setengah -setengah sehingga merasa masih jauh dari sasaran yang hendak dicapai. Sasaran mana, antara lain adalah ihwal bangkitnya kembali perekonoian nasional. Bangkit dari keterpurukannya selama ini. Dan guna menunjang bangkitnya perekonomian dimaksud, pemerintah dengan melalui team ekonominya yang diketuai Prof. Dr. Dorodjatun Koentjoro-Yakti telah melakukan berbagai upaya -baik dengan melalui restrukturisasi dan recovery ekonomi maupun dengan melalui revitalisasi aset-aset nasional ?

Sayang, apa yang telah diperbuat oleh pemerintah dengan segala daya upaya dan dengan seluruh langkah konkritnya itu, ternyata hasilnya belum menggembirakan seperti yang diharapkan oleh pemerintah sendiri, apalagi yang diharapkan oleh kalangan masyarakat luas. Masih memerlukan banyak waktu dan energi guna menindaklanjuti langkah-langkah penanggulangan secara tuntas atas berbagai permasalahan krusial di sana-sini. Terlebih-lebih lagi terhadap permasalahan-permasalahan yang bersifat sangat mendesak untuk segera diatasi. Khususnya permasalahan semakin susahnya kehidupan
ekonomi rakyat kecil yang terimbas oleh keterpurukan ekonomi negeri ini. Bukankah keterpurukan ekonomi negeri ini berawal dari rentannya ketahanan ekonomi kita yang memang keropos dari dalam? Bukan saja lantaran digerogoti oleh para konglomerat hitam. Melainkan juga lantaran fondasi ekonomi kita yang rapuh? Sangat rapuh malahan!

Mengapa tidak? dalam konteks ini ada semacam rumusan yang substansial-fundamental-bahwasanya ketahanan ekonomi nasional bakal handal (kokoh-kuat dan solid), manakala didukung oleh ketahanan ekonomi rakyat yang andal pula, sedangkan ketahanan ekonomi rakyat bakal andal -apabila didukung oleh pemerataan pertumbuhan ekonomi yang andal secara nasional.

Karena kebijakan pembangunan ekonomi dimasa lalu, sejak tiga dasa warsa yang silam selalu mengacu pada laju percepatan pertumbuhan, tanpa terlebih dahulu membangun fondasinya yang kokoh kuat yakni ekonomi rakyat, maka begitu dilanda oleh badai krismon, begitu porak-porandalah seluruh bangunan ekonomi yang memang rentan ketahanannya itu. Bahkan para konglomerat yang diandalkan untuk berperan sebagai lokomotif-lokomotif pertumbuhan ekonomi -tak urungpun berguguran hamper berbarengan! yang mengherankan, dan hampir diluar nalar, di luar akal sehat -pada saat para konglomerat ibarat sedang sekarat, Koperasi dan UKM yang pelaku-pelaku ekonomi pinggiran notabene yang tak pernah merasakan betapa nikmatnya menerima kucuran kredit dari Bank pemerintah itu -ternyata secara kasat mata rata-rata masih mampu bertahan dari terpaan dari goncangan badai krismon. Bahkan karena tidak pernah dimanjakan oleh pemerintah dengan fasilitas kredit berikut akses -akses bisnis yang secara signifikan sedemikian menggiurkan, maka pelaku-pelaku ekonomi mikro yang memerankan ekonomi kerakyatan itu -adakah justru merasa tertempa oleh keadaan sehingga lebih bersahabat dengan segala kesulitan, untuk lebih ulet mempertahankan kelangsungan hidup, dan lebih survive?

Lantas ? Apakah yang terjadi setelah reformasi? Adakah perubahan secara signifikan atas nasib pelaku -pelaku ekonomi yang bergerak di sub sektor ekonomi mikro itu? Sampai sejauh ini, selama genap lima tahun usia reformasi sejak lengsernya Presiden Soeharto, rupanya belum nampak adanya perubahan menyolok pada nasib Koperasi dan UKM yang berperan sebagai pelaku-pelaku ekonomi pinggiran namun memiliki ketahanan ekonomi yang relatif anda! itu.

Sungguh sayang, keandalan dan keuletan itu terkesan seakan-akan hanya sekedar untuk mempertahankan kelangsungan hidup berusaha. Bukan keandalan dan keuletan untuk mengembangkan usaha, termasuk untuk merengkuh akses-akses bisnis yang valuable dan prospektif. Maklumlah mereka sebagaian terbesar dari Koperasi dan UKM itu, memang menghadapi berbagai hambatan stuktural - kondisional- baik secara internal maupun secara eksternal. Secara internal- stuktur permodalannya relatif sangat lemah, disamping kondisi manajerial dan profesionalitas SDM pengelolanya rata-rata kurang andal. Adapun secara eksternal- kecuali tidak didukung oleh penciptaan iklim perekonomian yang kondusif, juga jauh dari akses-akses bisnis yang signifikan sehingga tidak mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang mampu menumbuhkan kepercayaan di kalangan dunia usaha, khususnya untuk mendapatkan kepercayaan dari Bank, terlebih-lebih dengan citranya yang kurang menunjang selama ini, selama tlga puluhan tahun lebih. Dengan hambatan-hambatan tersebut, termasuk kesenantiasaannya dihimpit oleh kendala kelangkaan modal kerja atau modal usaha, disamping langkanya peluang usaha yang menjanjikan lantaran sudah diakses oleh jaringan bisnis swasta, maka apakah yang dapat diperbuat oleh pelaku-pelaku ekonomi kerakyatan yang rata-rata mengidap penyakit lesu darah itu, karena kurang gizi, kurang akses bisnis ? Akses-akses revitalisasi guna menunjang penyehatan dan pemberdayaan mereka. Apalagi akses yang mampu menunjang optimalisasi pemberdayaan Koperasi dan UKM itu.

Bukanlah di masa lalu, disaat-saat suburnya praktek-praktek KKN Pemerintah dengan penuh gairah sedemikian concern-nya menunjang bahkan menopang usaha-usaha swasta dengan akses-akses bisnis beserta fasilitas-fasilitas berlimpahan, sehinggga lahirlah konglomerat-konglomerat yang bersimaharajalela malang-melintang memperluas jaringan konglomerasi bisnis raksasanya secara menggurita ? Kendati tak urung, para konglomerat itu di kemudian hari justru memiliki andil besar dalam memperburuk ekonomi negeri ini, terutama konglomerat hitam ?

Seperti diketahui, berdasarkan data yang dihimpun oleh Biro Pusat Statistik (BPS) –kini terdapat 40-an juta usaha kecil yang merupakan 99,85% dari keseluruhan jumlah pengusaha nasional; yang 0,14% usaha menengah dan yang 0,01 % usaha besar -yang bertebaran di seluruh penjuru tanah air. Apabila ditilik dari segi permodalan dan naluri berusaha -UKM memang relatif lemah. Akan tetapi, jika ditinjau dari segi milintasi atau keuletan dalam mempertahankan

kelangsungan hidup berusaha dan tingginya semangat kemandirian -mereka memiliki nilai lebih. Apalagi sektor usaha kecil yang tahan banting ini -terbukti memiliki kontribusi yang begitu besar terhadap penyerapan tenaga kerja, yakni meliputi 88% dari seluruh tenaga kerja di Indonesia yang nota bene juga berarti mengurangi jumlah pengangguran yang semakin hari semakin memperlihatkan grafik yang meninggi.

Berdasarkan data di Kantor Menegkop dan UKM, jumlahnya tidak kurang dari 109.000-an unit diseantero Nusantara. Dari jumlah ini tercatat 93.000 unit yang aktif. Akan tetapi, yang benar- benar survive sebagai pelaku ekonomi - nampaknya tidak jauh dari 40.000-an unit. Maklumlah kemelutnya iklim perekonomian yang beriarut-larut sedemikian akut selama ini, sangatlah dirasakan dampak negatifnya dikalangan gerakan koperasi, sehingga tidak sedikit koperasi yang mengalami degradasi –baik eksistensi maupun kinerja usahanya. Dan paling banyak mengalami degradasi demikian adalah KUD. Hal ini, rupanya bukan saja disebabkan oleh kemelutnya iklim perekonomian. Melainkan juga dikarenakan oleh pemberlakuan kebijakan pemerintah di awal reformasi presiden Gus Dur, yakni kebijakan yang berupa pencabutan fasilitas penyaluran sembilan bahan kebutuhan pokok sehari-hari. yang selama ini sudah hamper menyerupai misi khusus yang domein bagi KUD.

Alasan pencabutan fasilitas tersebut adalah didasarkan atas pertimbangan untuk memotivasi KUD agar lebih memiliki kemandirian, mampu berusaha sekaligus mampu terjun kedalam persaingan usaha seperti halnya swasta yang lain, tanpa disuapi fasilitas secara terus-menerus. Sungguhpun sejatinya, yang diperoleh KUD untuk menyalurkan sembilan bahan kebutuhan sehari-hari seperti halnya gula pasir, minyak tanah, minyak goreng, tepung terigu, pupuk, pestisida dan lain sebagainya itu hanya menghasilkan sekadar fee bagi KUD. Alangkah jauh nilainya dibandingkan dengan apa yang diperoleh kalangan swasta semisal kredit dari Bank Pemerintah yang begitu mudah, sedangkan bagi koperasi alangkah kelewat sulitnya. Demikian pula halnya dengan kenyataan di lapangan yang berdasarkan pengalaman selama ini -KUD sangatlah sulit memasok beras ke Dolog. Tidak semudah usaha swasta yang bisa memasok berapa saja yang dibutuhkan oleh Dolog -setiap melakukan pengadaan beras. Masih banyak peluang bisnis lainnya yang terkesan seakan-akan hanya dapat diraih dan direngkuh oleh usaha swasta notabene yang memang pandai bermain cantik dan softicated, bahkan pintar pula memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan, yang hal ini sudah menjadi rahasia umum. Inilah poradoksanya. Sebuah kontraversi bagi Koperasi. Pasalnya, apa yang dapat diperbuat oleh Koperasi termasuk KUD untuk mengahadapi persaingan usaha yang kurang atau tidak sehat demikian - yang kata setengah orang orang sebagai lingkaran setan itu ?

Apapun alasannya, dengan pencabutan fasilitas penyaluran sembilan bahan pokok tersebut membuat banyak KUD yang kalang kabut. Walaupun fasilitas dimaksud tidak memberikan nilai tambah yang berlimpah sebagaimana halnya peluang-peluang bisnis yang sering atau banyak diperoleh kalangan usaha swasta, namun pada hakikinya memiliki arti sangat strategis. Pertama -sebagai cerminan kepedulian pemerintah kepada Koperasi (KUD). Kedua- memperkuat institusi dan peran lembaga ekonomi pedesaan (KUD) agar disamping mampu memberikan pelayanan secara optimal guna memenuhi kebutuhan masyarakat petani, juga agar mampu memajukan ekonomi pedesaan.

Di luar dugaan, di era reformasi, di saat-saat hampir seluruh sektor usaha dan sejumlah segmen ekonomi sedang stagnan lantaran dlhantam oleh badai krismon, sehingga banyak usaha swasta yang besar dan berskala nasional menjadi porak –poranda karenanya, KUD yang lagi berbenah diri lantaran terkena imbas krismon pula itu, tiba-tiba pun dipangkas fasilitasnya oleh pemerintah. Dan tak pelak lagi -bagi KUD-KUD yang tidak memiliki akses bisnis lainnya, lantaran serba dalam keterbatasan khususnya keterbatasan modal kerja -terpaksa mati suri, atau melakukan amalgamasi. Di Jawa Timur misalnya -dari 700-an unit KUD, setelah sejumlah ratusan unit diantaranya melakukan amalgamasi, kini menjelma menjadi 400-an unit, namun benar-benar aktif mesti tidak seluruhnya solid. Sudah barang tentu, yang 300-an unit itu tidak semuanya beramalgamasi, tetapi ada beberapa diantaranya yang membiarkan diri non aktif, alias sedang menjalani proses mati suri. Atau adakah sedang menanti kemungkinan datangnya suntikan modal kerja? Atau pula menjadi apatis? Lantas pasrah begitu saja? Pasrah kepada nasib? Begitu pula yang terjadi di Jawa Barat -jumlah KUD di Propinsi ini yang semula 725 unit, belakangan pun setelah

melalui proses penggabungan dari ratusan unit KUD yang non aktif, tak urung menjelma menjadi 4000-an unit, yang benar-benar aktif. Di Jawa Tengah? Keadannya cenderung kurang menggembirakan ketimbang dikedua propinsi tersebut, kecuali KU D-KUD perikanannya yang justru lebih maju dan cukup menggembirakan. Dan KUD di luar Jawa, rupanya cenderung lebih memprihatinkan lagi keadaannya ketimbang di Jawa.

Adalah sebuah keniscayaan, Memang! Keniscayaan tentang fenomena-. fenomena faktual di lapangan yang tak terbantahkan lagi kebenarannya bahwa secara kasat mata dan bahkan sekaligus bisa dirasakan adanya -di sana-sini, di seantero Nusantara, malahan secara nasional dapat disebut sebagai masih memprihatinkan. Sampai sejauh ini -dari era Orde Baru hingga era reformasi, penciptaan iklim perekonomian memang belum kondusif bagi koperasi. Sunggupun demikian, betapapun kondisinya masih mengundang rasa haru setengah sendu, namun sejatinya -sesuai dengan fenomena-fenomena faktual di lapangan, koperasi telah memberikan kontribusi sangat berarti baik secara moril maupun materiil bagi kalangan komunitas anggotanya. Kontribusi secara moril berupa -menumbuhkan iklim kebersamaan berusaha yang kental dengan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai kekeluargaan. Adapun kontribusinya secara materiil -adalah berupa pelayanan terhadap anggota, untuk menyejahterakan para anggota. Dapat dibayangkan bagaimana para nelayan bakal melaut, sekiranya tanpa memperoleh perbekalan dari koperasi mereka, koperasi nelayan? Perbekalan melaut sebuah kapal nelayan berupa -solar, es, garam, beras, gula, kopi termasuk air bersih selama sepekan bagi crew sebanyak 12 s/d 16 orang diperlukan uang sekitar RP. 20, -juta. Bukankah mereka tak urung lari kepada cukong ataupun rentenir, seandainya tiada koperasi perikanan? Begitu pula dengan koperasi persusuan. Kontribusinya sangatlah signifikan. Selain menyediakan konsentrat, unit perawatan pengawetan termasuk alat pengatur suhu dan pengatur kadar air susu, mengimpor bibit unggul (sapi perah), koperasi susu juga menangani pemasaran susu produk anggota-anggotanya ke pabrik-pabrik susu kental seperti halnya Nestle (Malang) dan Sari Husada (Yogyakarta). Koperasi susu yang tergabung di dalam GKSI (Gabungan Koperasi Su$u Indonesia) inilah yang paling eksis menampilkan sosok jatidirinya sebagai pelaku ekonomi kerakyatan yang survive dan solid. Belum lagi dengan halnya jenis koperasi lain misalnya koperasi fungsional dilingkungan AD, AL, AU, Kepolisian, Pegawai Negeri -yang setiap saat siap ditabrak oleh para anggotanya guna menalangi kebutuhan mereka, betapa kontribusi lembaga ekonomi rakyat itu sangat dirasakan manfaatnya dikalangan komunitas anggotanya. Itulah antara lain kontribusi koperasi yang menitikberatkan pada pelayanan terhadap anggota, guna meningkatkan kesehjateraan para anggota, dan praktis juga memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja yang tidak kecil jumlahnya.

Sangatlah jauh berbeda halnya dengan kehidupan Koperasi pada dasa warsa 50-an (tahun 1950 s/d 1960) yang ditengarai oleh mencuatnya GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) ke permukaan -alangkah maraknya kehidupan koperasi dan makmurnya para anggota koperasi yang produsen bahan sandang itu.

Sebagai gambaran konkrit tentang tingkat kemakmuran mereka waktu itu, bahwa rata-rata anggota koperasi bersangkutan atau hampir setiap anggota koperasi tersebut -memilki rumah relatif mewah dan sebuah mobil sedan merk Opel Kapitan yang paling top waktu itu (Mercy, Impala, dan BMW belum masuk ke Indonesia). Kefaktualan fenomena- fenomena demikian mudah didapati di sentra-sentra industri sandang seperti halnya di-Medan terkenal dengan "Pardedetek"-nya itu; Tasikmalaya (Jawa Barat) antara lain perusahaan tenun milik H.Syukur; Pekalongan (Jawa Tengah) antara lain perusahaan batik H. Djoenaid; Solo antara lain perusahaan tenun milik H. Malkan Sangidoe; perusahaan batik milik H. Tjokro Handoko; dan Pedan Klaten (Jawa Tengah); Yogyakarta (DIY). Ponorogo (Jawa Timur); Denpasar (Bali); Ujung Pandang (Sulawesi Selatan) dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan Koperasi Kopra dan Koperasi Karet –yang masing-masing mampu mengekspor produk-produknya.

Dari segi kuantitas -pada dasawarsa '50-an itu memang tidak lebih unggul ketimbang sekarang. Waktu itu -jumlah koperasi tidak lebih dari 40.000-an unit, tetapi jumlah penduduk masih sekitar 80 juta orang se Indonesia.

Kini, jumlah koperasi memang tidak kurang dari 93.000 unit, meski yang relatif survive hanya sekitar40.000-an unit, padahal jumlah penduduk sudah mencapai kisaran 220 juta jiwa.

Dan dari segi kualitas -dapat dibayangkan sampai sejauh mana soliditasnya -Koperasi Kopra mampu mengekspor kopra yang produk anggota-anggotanya; Koperasi Karet mampu mengekspor karet yang produk anggota-anggotanya. Begitu pula ihwal soliditas GKBI dan PKPI yang relatif mampu memenuhi kebutuhan (Bahan) sandang didalam negeri.

Lalu -apa yang dapat diperbuat oleh Koperasi di masa kini? Inilah yang mengenaskan. Mengenaskan sekali! Dahulu dalam dekade '50-an -Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden rupanya memang komit sekali terhadap "Gerakan Koperasi" sehingga dengan penuh anthusiasme memberikan akses pemberdayaan secara signifikan kepada pelaku ekonomi kerakyatan itu.

Akan tetapi, kini? Setelah ditinggalkan oleh Godfathernya, Gerakan Koperasi dan seluruh jajarannya pun tak ubahnya nasib ayam yang ditinggalkan induknya. Dan Departemen Koperasi yang sempat menjadi pengganti Godfathernya, setidaknya sebagai tempat mengadukan nasib bagi koperasi -sejak pemerintahan Gus Dur telah di bonsai menjadi Kantor Menegkop dan UKM, sehingga dengan serba keterbatasannya –praktis kurang memungkinkan untuk dapat berbuat banyak kepada koperasi.

Di masa transisi, di era pemerintahan Presiden BJ. Habibie, malahan ada sebuah kebijakan yang begitu radikal dan sangat signifikan, yakni kebijakan Menhutbun, Prof. Dr. Ir. Muslimin Nasution yang membuka kesempatan bagi KUD guna menangani H.P.H (Hak Pengelolaan Hutan). Meskipun kebijakan tersebut bersifat sub sektoral, hanya berlaku di sektor HPH, itu pun hanya terbatas melibatkan sejumlah KUD yang berada di seputar lingkungan hutan, misalnya Kalimantan, tentu saja melibatkan peran Induk KUD yang menangani advokasi beserta mekanisme realisasinya, dan manfaatnya sangat dirasakan oleh KUD-KUD bersangkutan.

Kebijakan yang berorientasi tentang keberpihakan dan kepedulian Pemerintah terhadap sektor usaha yang lemah, rupanya justru telah banyak dilakukan oleh negara-negara yang menganut sistem ekonomi libreral. Di negeri Paman Sam, negeri yang mengekspor sistem ekonomi liberal secara besar-besaran itu, nampaknya mempunyai konsernitas yang begitu tinggi tentang keberpihakan dan kepedulian dimaksud. Sebagai misal -manakala panenan tembakau disana mengalami over produksi, dan untuk menjaga harga agar tembakau tidak jatuh di pasaran sehingga merugikan para petani, maka komoditas tersebut pun sebagian dibeli oleh pemerintah. Sebaliknya, apabila di pasaran terdeteksi adanya kekurangan pasokan tembakau, barulah pemerintah mengeluarkannya dari gudang untuk kemudian melemparkannya ke pasaran. Dengan demikian, produk pertanian itu tetap terjaga pada tingkat harga yang wajar. Kebijakan serupa pun dilakukannya pula untuk produk-produk pertanian yang lain, terlebih-lebih untuk apa yang disebut -bahan kebutuhan pokok seperti halnya gandum, gula pasir dan sejenisnya. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat itu rupanya dilakukan oleh pemerintah Jepang. Konsernitas pemerintah negeri Matahari Terbit atas keberpihakannya terhadap sektor usaha lemah, termasuk kepeduliannya dalam hal melindungi produk-produk pertanian dapatlah diacungi jempol.

Di negeri kita, pemerintah pun memiliki kepedulian yang relatif agak concern pula –bukan saja produk-produk pertanian seperti halnya beras, gula pasir, minyak goreng dan sejenisnya, namun juga pada kebutuhan bahan pokok lainnya sebagaimana minyak tanah, pupuk, pestisida dan lain-lainnya, meski sering kali terlambat dalam menanggulanginya setiap timbul masalah yang kruisal. Itu pun baru terbatas pada kebutuhan bahan pokok, belum sampai pada kebutuhan semisal tembakau yang di Amerika mendapat sentuhan kebijakan secara signifikan dari pemerintah. Alangkah jauh berbeda halnya dengan disini -yang nasib para petani tembakaunya nyaris ditentukan oleh pabrik-pabrik rokok. Sering terdengar sayup-sayup isakan tangis tembakau manakala harga komoditas itu dijadikan bulan-bulanan oleh pabrikan rokok. Namun apa daya? Jangankan petani, Koperasi pun, Koperasi Unit Desa -tak bakal mampu mengatasinya. Satu-satunya yang mampu mengatasinya tentulah pemerintah seperti halnya di Amerika, tetapi tentunya pun bukan dalam waktu dekat ini.

Pasalnya, masih ada setumpuk masalah yang jauh lebih penting dan bersifat sangat mendesak untuk ditangani oleh pemerintah yakni masalah- masalah yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi Nasional, termasuk (restrukturisasi dan recovery ekonomi). Pemulihan ekonomi yang diharapkan mampu merestrukturisasi dan merecovery ekonomi secara reformatif, aspiratif, dan populis yakni yang mengacu pada ekonomi kerakyatan.

Untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, tentulah dibutuhkan pelaku-pelaku ekonomi kerakyatan yang andal; sedangkan pelaku-pelaku ekonomi kerakyatan yang sekarang –Koperasi dan UKM, sebagian terbesar masih cenderung memprihatinkan keadaannya, sehingga dengan kondisinya yang rata-rata kurang menggembirakan itu -alangkah masih jauh dari andal. Sungguh pun pelaku-pelaku ekonomi pinggiran (yang dimarjinalkan oleh sistem ekonomi KKN yang oligopolis-monopsonis denagn segala konglomerasinya) itu ternyata tahan banting terhadap goncangan badai krismon, tetapi untuk mampu berperan sebagai pelaku ekonomi yang andal (solid), tentulah memerlukan pemberdayaan. Dan guna menunjang upaya pemberdayaan yang paling substansial- fundamental -rupanya hanyalah dengan "paradigma baru". Persis sebagai yang dikemukakan oleh presiden Megawati Soekarnoputri dalam suatu perhelatan HUT koperasi ke-56 yang dipusatkan di Kabupaten Wonogiri yang intinya -untuk mengejar ketertinggalannya dari pelaku-pelaku ekonomi yang lain (Swasta dan BUMN), apalagi untuk menjadi "Sokoguru ekonomi" ataupun sebagai "Pilar Utama" ekonomi nasional, maka dianjurkan agar koperasi mencoba metode pendekatan yang berupa paradigma baru. Dalam konteks ini, paradigma baru dimaksudkan sebagai cakrawala berpikir, cara pandang atau pun cara pendekatan yang baru -bahwa "koperasi" adalah "Badan Usaha" yang berwatak sosial. Suatu jenis Badan Usaha yang berorientasi pada prinsip ekonomi yang mengutamakan pendekatan keuntungan (profit motive, profit approach ataupun profit oriented), juga tetap kental dengan jatidirinya yang bercirikan kebersamaan berdasarkan alas kekeluargaan sebagai cerminan dari watak sosialnya.

Dengan paradigma baru tersebut, para pengelola koperasi memiliki kesempatan lebih leluasa untuk menggerakkan roda usahanya, termasuk mengakses modal kerja ataupun modal usaha dari mana pun asal halal, dan mengakses berbagai peluang bisnis baik dari pemerintah maupun dari non pemerintah dengan memperluas jaringan usaha -bukan saja di seluruh jajaran gerakan koperasi, namun juga di kalangan swasta dan BUMN -guna memperoleh nilai tambah yang optimal sepanjang sesuai dengan norma-norma beserta aturan main yang berlaku tanpa meninggalkan nilai-nilai moral dan etika berusaha.
Memang, untuk memberdayakan terlebih untuk membesarkan Koperasi –tentulah dibutuhkan insan-insan Koperasi Profesional yang andal, memiliki kepekaan naluri berusaha yang tinggi, dan last but not least memiliki komitmen yang jitu (patent) nota bene yang mengutamakan kepentingan koperasi diatas kepentingan pribadi. Semoga!.

Oleh: N.A. Winu Wardana
Sumber : www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/Edisi%2022/paradigma_.htm

BERITA TERKINI

ARSIP POST