Jumat, 18 Februari 2011

Ogoh-ogoh sebagai asset budaya Bali


Oleh : Drs. I Wayan (Mangku) Candra


Ogoh-ogoh merupakan seni budaya bali yang baru berkembang dalam dua dekade terakhir ini . Perkembangannya yang relatif baru telah menimbulkan berbagai persepsi di tengah masyarakat. Bahkan diberbagai kalangan muncul wacana yang sangat dinamis, yang menilai kehadiran ogoh-ogoh ini dari sudut pandangnya masing-masing. Artinya kehadiran ogoh-ogoh ini tidak dilihat menyeluruh dan terpadu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------


PENDAHULUAN

Sehari sebelum hari raya Nyepi sebagai peringatan Tahun Baru Saka oleh umat Hindu, di Bali diadakan ucapara Tawur Kesanga. Prosesi upacara terdiri dari rangkaian pecaruan di masing-masing pewidangan (Banjar/Desa Pekraman). Yang waktunya dapat dilaksanakan pada siang hari sampai sandyakala yaitu saat perpaduan antara hari sore dengan hari malam. Pecaruan/Tawur Kesanga bertujuan untuk melakukan penyomian para bhuta (kegelapan) menjadi dewa (sinar suci). Pada sandyakala atau sering disebut sandikala sebagai batas akhir pelaksanaan pecaruan, yang dirangkaikan dengan pelaksanaan kegiatan Meabu-abu yatiu kegiatan yang diyakini sebagai puncak keberhasilan dalam prosesi penyomiyan. Karenanya pada saat itu dilaksanakan upakara ngaturang blabaran atau segehan pada sanggah cucuk di masing-masing pelebuhan.

Puncak dari prosesi ngaturang blabaran ini adalah dengan membunyikan berbagai suara yang menimbulkan suara kegaduhan (dengan memukul kentongan, kaleng, ember, dll), disertai api obor dengan berkeliling pekarangan rumah atau desa. Tujuannya adalah agar para bhuta tidak lagi kembali ke lingkungan pedesaan.

Adanya prinsip Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan), menyebabkan prosesi pecaruan dilaksanakan sesuai desa mawa cara (sesuai dengat adat istiadat di desa masing-masing). Sepert halnya di Desa Sesetan, Desa Pedungan dan Desa Sidakrya Denpasar Selatan-Bali, biasanya upacara Me ubu-ubu dilanjutkan dengan tradisi arak-arakan obor keliling desa. Arak-arakan biasanya diramaikan dengan berbagai variasi tetabuhan kentongan dan gong sampai pagi. Demikian juga di desa-desa lain di Bali memvisualisasikan berbagai kegiatan yang berkonotasi sama yaitu dalam rangka penyomiaan kalangan bhuta.

Seluruh rangkaian kegiatan keramaian sebagai bagian upakara Meubu-ubu itu telah menggelitik inspirasi beberapa kreator di Bali, yaitu untuk menjadikannya ranah penuangan berbagai kreasi yang mempertajam pemaknaan dari berbagai kegiatan dan keramain yang di lakukan oleh masyarakat.

Maka lahirlah kemudian kemeriahan thematis yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kreatfitas seperti bebarongan, rangkaian pelaksanaan panca yadnya, pewayangan, dan lain-lain.

Kemeriahan kreasi tahunan inilah kemudian oleh para tokoh masyarakat dan seniman dijadikan momentum berkreasi. Yaitu bagaimana meramu berbagai unsur kegiatan ini agar tidak menjadi liar atau tanpa arah. Munculah kemudian berbagai kreasi berupa karya seni tiga dimensi, dengan berbagai bentuk patung, binatang, bebuthan, tokoh pewayangan, dan lain-lain. Kreasi ini selanjutnya dikenal dengan sebutan OGOH-OGOH.

Sekalipun ogoh-ogoh telah bermetafosis sejak lama, tetapi keberadaannya mulai marak sejak tahun 1990, yaitu ketika kegiatan PKB (Pesta Kesenian Bali) melombakan parade ogoh-ogoh dari perwakilan kabupaten/kota se Bali.
Sejak itu taksu ogoh-ogoh tumbuh dan berkembang sedemikian dasyatnya yang ditunjukkan oleh kerinduan masyarakat akan kehadirannya.

Taksu ogoh-ogoh yang sedemikian besar juga membawa ekses, yaitu munculnya wacana pro-kontra tentang keberadaan ogoh-ogoh. Di satu sisi memandang ogoh-ogoh sebagai bagian dari perkembangan kreatif yang tumbuh dari realitas budaya dan intuisi keseniman masyarakat Bali. Disisi lain memandang keberadaan ogoh-ogos sebagai salah satu sumber konflik sehingga kurang tepat diadakan pada saat pengerupukan.

PENGERTIAN SINGKAT TENTANG OGOH-OGOH

Sesuai dengan Paruman Bendesa Adat se Kota Denpasar tahun 2004/2005 menyatakan bahwa ogoh-ogoh tidak terkait dengan kegiatan agama/pengerupukan. Apalagi ogoh-ogoh itu di arak setelah upakara Me abu-abu. Maka logikanya tentu tidak ada kaitan dengan upaya penyomiyan bhuta.

Persepsi yang yang sama juga pernah terjadi terhadap kemunculan kesenian bebarongan pada jaman Dalem Waturenggong. Bebarongan sama sekali tidak dianggap berhubungan dengan sastra agama. Anggapan semacam itu juga menimbulkan pro-kontra tentang penyembahan terhadap Barong (bentuk binatang) atau Rangda (bentuk kejahatan).

Pada saat itu para tokoh menjelaskan pengertian bebarongan secara etimologi, Kata BARONG berasal dari barung—> bareng-bareng -- beriringan. Implementasinya kemudian adalah Barong menjadi sarana tari, Bebarungan pada gamelan, Bareng-bareng dalam kebersamaan, beriringan, saling mengikuti sesuai urutan. Rangkaian semua ini menjadi simbol persatuan yang menyemaikan kekuatan gaib yang di sebut TAKSU.

Taksu merupakan kekuatan yang tumbuh secara gaib yang secara mendasar memberi kekuatan magis terhadap berbagai hal yang diyakini mampu mempersatukan semua komponen massa. Jadi Taksu yang berlandaskan kreasi seni diyakini secara pasti akan kembali kepada keselamatan. Sedangkan Taksu yang berlandasakan bhuta dipastikan akan kembali ke kehancuran. Logikanya adalah konsep berkesenian pada dasarnya selalu berorientasi untuk membuat orang senang.

Karena itu bisa di katakan bahwa Barong dan Ogoh-Ogoh tumbuh karena Taksu dan keduanya sama-sama Produk seni. Yang membedakan kalau Barong di sakralkan dan di sungsung secara permanen sebagai saras. Sedangkan Ogoh-Ogoh adalah seni rupa yang berbentuk tiga dimensi yang diusung beramai-ramai dan ditarikan secara ogah-ogah (digoyang-goyangkan) yang sifatnya tidak permanen.

OGOH-OGOH SEBAGAI PERKEMBANGAN SENI BUDAYA BALI

Perkembangan ogoh-ogoh pada acara pengrupukan di Bali tidak lepas dari perkembangan suatu kesenian yang sarat dengan Taksu, yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa seni. Kreasinya berkembang sedemikian rupa dan beragam. Kreasi ogoh-ogoh berusaha divisualiasikan dalam berbagai bentuk , seperti bentuk Kala Bang, Kala Ireng dan bebuthan lainnya dan bentuk yang lebih kekinian seperti ogoh-ogoh pemabuk, cewek kafe genit,dll yang disimbulkan sebagai penggoda bagi mereka yang sedang melaksanakan Catur Brata Penyepian.

Dalam perkembangan yang begitu semarak akhir-akhir ini, sangatlah tepat apabila ogoh-ogoh itu diterima apa adanya sebagai sebuah Asset Budaya Bali. Adalah tidak adil apabila kehadiran ogoh-ogoh dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan hidup. Ogoh-ogoh tumbuh berkembang dari dalam diri masyarakat Bali itu sendiri yang sejak lahir sudah memiliki darah daging berkesenian.

Sebagai asset budaya ogoh-ogoh itu harus dikelola secara maksimal sehingga memberi nilai tambah terhadap perkembangan maupun pelestarian seni budaya itu sendiri.

Salah satu contoh upaya memaksimalkan keberadaan ogoh-ogoh adalah dalam bentuk dilombakan, dengan menetapkan kriteria tertentu yang benar dan jelas, niscaya akan didapatkan manfaat yang luar biasa, khususnya dibidang kreatif dalam rangka persatuan.
Kriteria yang disarankan adalah :
  1. Penampilan ogoh-ogoh harus mewakili tema yang ditetapkan. 
  2. Ada keserasian antara bentuk ogoh-ogoh, cerita, tari dan tabuhnya. 
  3. sebelum di usung, ogoh-ogoh harus dibuatkan prosesi upacara, seperti prayascita atau pemlaspas dalam artian pembersihan ogoh-ogoh dari pengaruh negatif. 
  4. Pengusung harus melakukan persembahyangan untuk keselamatan semua. 
  5. Diberikan pengarahan dan pengawasan oleh para menggala atau tetua setempat agar menjaga ketertiban, tidak mabuk, tidak membunyikan petasan yang bukan tradisi Bali, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat memancing keributan. 
  6. Koordinasikan dengan pecalang desa pekraman maupun pihak keamanan (kepolisian) untuk menjaga keamanan dan ketertiban. 
  7. Ogoh-ogoh yang telah selesai diarak, harus dipralina (dileburkan) untuk menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebelum prosesi pralina terhadap ogoh-ogoh agar dihaturkan sesajen berupa soda dan segehan manca warna serta segehan poleng yang diakhiri dengan memukul ogoh-ogoh itu sebanyak tiga kali agar swala mala yang masih melekat segera pergi ke tempatnya masing-masing. Pemrelinaan I ni dapat dilakukan dengan memercikkan tirtha suci yang dimohonkan di Pura masing-masing untuk selanjutnya di bakar. Pemrelina dapat juga dilakukan dengan melarung ke laut atau sungai, namun dalam rangka kebersihan lingkungan maka sebaiknya dibakar saja untuk kemudian abunya dilarung ke laut atau sungai.
Mengingat ogoh-ogoh lahir sebagai bagian dari darah daging masyarakat Bali serta dianugrahi Taksu, maka keberadaanya sudah semestinya dipertahankan dan dilestarikan. Dan untuk para tokoh, pemimpin masyarakat Bali, baik formal maupun non formal agar tetap menjaga, mengarahkan dan mengawasi perkembangan selebrasi ogoh-ogoh manakala dipawaikan.

Demikian sekilas tentang ogoh-ogoh, semoga ada manfaatnya.


Biodata :

Nama : Drs. I Wayan (Mangku) Candra.
Tempat/Tanggal lahir : Sesetan 5 Juli 1955
Pendidikan Terakhir : S1 (Sarjana senirupa PSSRD Udayana)
Alamat Rumah : Jln. Raya Sesetan 213 Denpasar-Bali
Telp : (0361) 231890 hp : 08123976102

Penghargaan :

Juara I Lomba Ogoh-Ogoh PKB 1990 dengan judul Dwara Pala
Mengikuti Pentas seni di TMII dalam bentuk Ogoh-Ogoh  Bawi Srawa
dan menjadi Koleksi TMII Tahun 1995
Juara I Lomba Ogoh-Ogoh Kota Denpasar 1995 dengan Judul Rwa Bhineda
Memecahkan Rekor Muri Pembuatan Patung SBY tahun 2008
Dll.

Dengan mendirikan Sanggar Gases Bali  : mengerjakan berbagai macam karya seni baik seni rupa tradisi sampai modern, seperti lukisan, patung, sarana pengabenan, ogoh-ogoh, srana upakara (banten), dekorasi dan lain-lain



BERITA TERKINI

ARSIP POST