Senin, 22 November 2010

Sejarah Pura Gunung Salak Bogor

Nak Uli Gaduh Sesetan
Gunung Salak memang sulit untuk didaki. Itu tidak lepas dari sisi-sisi mistis yang menyelimutinya. Dan, ada sisi lain yang membuat gunung ini semakin disegani. Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang paling masyhur, pernah berada di gunung itu. Buktinya, sebuah tempat ibadah berdiri setelah sang prabu menurunkan wangsitnya.

Bukan salah pilih bila bangunan suci umat Hindu ini didirikan di salah satu lereng Gunung Salak. Tapi, ada sejumlah pertimbangan yang melatarbelakanginya. Dan untuk sampai pada keputusan pilihan itu, ada sejumlah prosesi istimewa yang telah dilakukan. Sehingga berdirilah Pura Gunung Salak, yang kini ramai dikunjungi umat Hindu. “Tempat ini memang memiliki kandungan energi kosmis yang cukup. Bebas dari polusi, tenang dan hening. Syarat-syarat baku untuk berkomunikasi dengan Sang Hyang Widi Wasa sudah terpenuhi ditempat ini,” tutur I Nyoman Randeg (62), pemangku Pura Gunung Salak.

Benda Gaib

Tentu saja, imbuh Nyoman, bukan hanya itu penyebabnya. Ada hal lain yang lebih penting. Ya, apalagi kalau bukan menyangkut seorang leluhur Hindu yang bernama Prabu Siliwangi. Sosok berwibawa itulah yang juga menambah berat kandungan energi kosmis Gunung Salak. Bagi petinggi Hindu yang terlibat pembangunan Pura Gunung Salak, tempat tersebut sangat harmonis. Cocok dengan hitungan sekala dan niskala. Seperti titik simpul sirkulasi enerji kosmik.

Tengok saja bagaimana proses pemilihan lereng gunung salak ini menjadi sebuah pura. Kejadiannya tahun 1984. Bermula dari sebuah perasaan mistik seorang tokoh Hindu di Bali bernama Anggawijaya. Ketika itu Angga tengah sembahyang di lereng Gunung Salak ini. Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang lain. Aneh, ada daya tarik yang khas begitu terasa. Sulit dikatakan dengan lisan. Dan itu menyebabkan Angga yakin bila di situ cocok menjadi tempat ibadah.

Sejak itu, Angga berangkat ke Bali dan Jakarta. Ia temui sejumlah rekan, baik pemangku (pelayan pura), Pedanda, dan mereka yang bisa merasakan adanya energi di suatu tempat. Akhirnya terkumpul 20 orang tokoh, termasuk Dewa Brata, Gubernur Bali yang waktu itu masih menjabat Sekwilda Bali. Setelah disepakati, mereka berangkat ke tempat Angga dahulu melakukan sembahyang.

Dan benar saja, baru selangkah memasuki lokasi, mereka sudah merasakan adanya energi aneh itu. Mereka pun segera memulai sembahyang dengan posisi setengah lingkaran. Pada tahap inilah mereka baru merasakan energi yang kuat itu benar-benar ada. Setelah itu mereka istirahat. Pukul 00.00, mereka kembali bersembahyang. Mereka berdoa kepada Sang Hyang Widi untuk diberikan tanda yagn nyata bila di tempat ini bisa dibangun pura.

Tak berapa lama, keheningan yang tengah berlangsugn itu buyar seketika. Sebab tiba-tiba terdengar suara denting besi yang beradu dengan batu. Komang Agung, salah seorang peserta sembahyang, menemukan sebuah keris berukuran sekitar 7 Cm, disisi kiri tempatnya bersila. Menyusul kemudian ditemukan lagi tga buah permata yang besarnya mencapai satu ruas ibu jari orang dewasa. Warnanya ada yang hijau, merah dan kecoklat-coklatan. Benda-benda gaib itu semua dikubur di tempat berdirinya pura.

Wangsit Siliwangi

Belakangan, panitia pelaksana penyucian leluhur umat Hindu sebumi Parahyangan itu baru tahu bilalokasi mereka semadi tempo hari bukan tempat sembarangan. Masyarakat di sana, maupun tokoh-tokoh spiritual di Bogor juga mengungkap bila tempat itu merupakan petilasan Prabu Siliwangi. Menurut keterangan, di tempat itulah sang prabu dan bala tentaranya muksa. Petilasannya berbentuk batu-batuan hingga kini masih ada di lokasi itu.

Setelah rangkaian proses yang panjang, disepakatilah di tempat itu untuk didirikan pura. Pemangku pura Gunung Salak, I Nyoman Randeg sendiri, selama melayani umat yang sembahyang, kerap mendapat peristiwa-peristiwa aneh. Saat-saat ia melakukan semadi, seringkali mungcul sosok seorang raja yang diyakini sebagai Prabu Siliwangi. Sosok itu selalu memberikan berbagai petuah-petuah gaibnya. Nyoman yakin bila ia telah mendapatkan wangsit dari Prabu Siliwangi.

“Wangsit itu sering saya terima saat kapan pun. Bahkan pernah melalui perantara salah seorang umat yang sembahyang di sini,” kata Nyoman. Pensiunan TNI AD ini menjelaskan, wangsit itu isinya rata-rata tentang nasihat kebaikan hidup dan kehidupan. Bahkan tidak jarang berisi peringatan untuk waspada akan terjadinya suatu peristiwa. Seperti ramalan tentang masa depan bangsa. Sayang, Nyoman enggan menceritakan isi wangsit Prabu Siliwangi soal masa depan bangsa itu. Ia hanya berpesan agar bangsa ini bersatu dan bahu membahu memerangi kemiskinan dan kejahatan. ***   Sumber (http://ekorisanto.blogspot.com/2009/07/pura-gunung-salak.html)

nak uli gaduh sesetan
Sedangkan sumber lain menceritakan bahwa berdirinya sang pura di Gunung Salak ini bukan tanpa alasan. Karena disinilah konon kerajaan Hindu tanah Sunda yang termasyur pernah berdiri. Kerajaan Padjadjaran dibawah pemerintahan Prabu Siliwangi.

Akses jalan dari kaki Gunung Salak menuju pura sudah diperlebar. Sehingga kendaraan kami bisa mencapai pura dengan mudah.Namun karena banyaknya umat yang akan datang untuk mengikuti upara Ngenteg Linggih atau peresmian pura, panitia mengharuskan seluruh kendaraan parkir jauh dari areal pura.

Sehingga banyak umat yang harus berjerih lelah berjalan kaki menuju pura. Begitu juga dengan kami. Di tempat ini pak Made Santika dan pak Mangku MadeYatnawiguna menyambut kami sambil memberi penjelasan seputar pura dan upacara Ngenteg Linggih atau peresmian pura yang akan dilakukan besok.

Dirintis sejak tahun 1995, pembangunan pura ini merupakan hasil kerja gotong royong umat. Memang belum semua bagian selesai dikerjakan. Namun bangunan pura utama, seperti Pura Padmesana dan Balai Pasamuan Agung dan Mandala Utama segera selesai.

Rencananya pura Gunung Salak ini akan terdiri dari empat area. Misalnya area utama Ning Mandala yang merupakan area suci hingga hanya para pemangku agama yang bisa menjejakan kakinya.Bangunan penting lain adalah Padmesana yang merupakan tempat persemayaman Tuhan serta Balai Pasamuan Agung.

Di bangunnya pura Salak di daerah ini memang bukan tanpa alasan. Konon di tanah inilah Prabu Siliwangi sang Raja Padjadjaran yang membawa kemasyuran bagi tanah Sunda pernah berdiam.

Bahkan ada yang percaya di tempat ini Prabu Siliwangi menghilang bersama para prajuritnya. Hingga akhirnya sebelum membangun pura, umat Hindu lalu memutuskan untuk membangun terlebih dulu candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam. Sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.

Menjemput Melasti 

Belum ada literatur yang bisa memastikan kapan agama Hindu masuk ke wilayah Jawa Barat. Tapi setidaknya telah ditemukan sejumlah bukti peninggalan Kerajaan Hindu di Jawa Barat yakni Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal Purnawarman.

Sebagian peninggalan itu diantaranya kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jejak kaki sang raja bahkan tercetak pada sebuah batu yang lalu dikenal sebagai prasasti Ciaruteun.

Jejak kaki Raja Purnawarman ini diibaratkan seperti telapak kaki Dewa Wisnu, salah satu dewa umat Hindu. Di Museum Nasional juga terdapat prasasti Tugu. Prasasti Hindu tertua yang ditemukan di Pulau Jawa.

Dalam prasasti Tugu yang diperkirakan berasal dari tahun 450 Masehi ini misalnya, penunjukkan Prabu Purnawarman dari Tarumanegara pernah memerintahkan penggalian saluran terusan sungai dari Bekasi ke Pelabuhan Sunda Kelapa untuk sistem pengairan dan membuka jalur pelayaran ke pedalaman.

Pada akhir abad ke VII, Kerajaan Tarumanegara diduga hancur takluk pada Kerajaan Sri Wijaya. Baru pada awal abad ke 14 hadir kembali Kerajaan Hindu Sunda yang cukup kuat dibawah kepemimpinan Prabu Siliwangi. Yakni Kerajaan Padjadjaran dengan ibukotanya terletak disekitar Pakuan yang kini dikenal sebagai kota Bogor.

Sayangnya, tidak banyak yang ditinggalkan sang Prabu Sri Paduga Maharaja. Kebanyakan justru tentang mitos yang masih dipercaya hingga kini walau ratusan tahun sudah berlalu. Seperti kemampuannya untuk menghilang atau muksa. Berbagai kesaktian sang prabu ini pula yang jadi latarbelakang berdirinya pura di Gunung Salak.

Konon, dulu sering ada hal-hal gaib yang terjadi di wilayah ini yang berhubungan dengan Prabu Siliwangi, raja masyur dari Kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat.

Pendirian pura di Gunung Salak yang dipercaya sebagai petilasan Sri Paduga Maharaja Prabu Siliwangi, bukan hanya membawa kegembiraan bagi para umat Hindu. Warga sekitar juga seperti kecipratan berkah. Aneka dagangan terutama yang berkaitan dengan ritual agama Hindu seperti bertebaran.

Keadaan semakin ramai menjelang peresmian pura. Keramaian dilokasi pura ini sebetulnya sudah berlangsung jauh sebelumnya. Sejumlah ritual pendahuluan telah dilaksanakan. Dan memasuki puncaknya pada hari ini.

Semua persyaratan perlengkapan upacara dikerjakan ratusan umat Hindu. Mereka ini datang dari berbagai daerah bekerja, bergotong royong tanpa pamprih.Ngayah demikianlah sebutannya.

Tidak heran kenapa mereka merasa antusias. Ini adalah peristiwa yang sakral dan juga jarang terjadi. Upacara seperti ini hanya dilakukan sekali saja saat pendirian sebuah pura. Apalagi pura ini berstatus pura Penatara Agung dengan kedudukan pura sebagai pengepon jagad.

Untuk seorang seperti Ketut Mandre beserta rombongan yang datang dari Karangasem, Bali dengan biaya sendiri, inilah saatnya mereka membaktikan diri. Dengan keahlian mereka membuat caru atau qurban dari hewan kerbau dan kijang sebagai syarat untuk upacara. Tidak hanya dari pulau Bali. Juga ada rombongan petani dari Lampung Tengah, Kabupaten Tulang Bawang yang sudah sepekan ada ditempat ini. Seperti ibu
Parmi yang membawa serta putra putrinya untuk ikutan ngayah.

Suasana semakin ramai. Puncak Karya Ngenteg Linggih akan berlangsung esok hari. Umat Hindu terutama dari wilayah Jabotabek baik yang tua kaum muda dan juga anak-anak terus berdatangan. Mereka tidak ingin ketinggalan mengikuti upacara peresmian pura.

Hari ini warga Hindu yang berada di Gunung Salak akan menyambut rombongan yang melakukan melasti atau penyucian sarana pemujaan dan penyucian diri di laut. Rombongan melasti yang akan dijemput itu berangkat dari Pura Segara, Cilincing, Jakarta Utara dan Pelabuhan Ratu.

Sebagian warga yang turun gunung semua bersuka cita menyambut rombongan yang membawa para betara yang disimbolkan dalam daksine pelinggih serta berbagai macam banten atau sesajen. Mereka dijemput, dibawa menuju Pura Gunung Salak. Seluruh perangkat upacara diletakkan di balai. Saatnya persiapan serta penyucian tempat dan perangkat upacara. Suasana bersuka terasa dominan terutama saat menunggu para pemangku dan pandite menyiapkan upacara. Tapi ketika saat tiba berdoa suasana berubah hening.

Upacara ini berakhir dengan dibawanya seluruh banten dan daksine pelinggih ke balai Pasauan Agung di Utama Ning Mandala melewati kori Agung. Seluruh umat kembali memanjatkan doa untuk kelancaran karya utama esok hari.

Hujan Pun Turun
Hari ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri bagi umat Hindu. Mereka akan memiliki sebuah pura utama di Gunung Salak. Pura Parahyangan Agung JagatkartyaTaman Sari Gunung Salak, demikianlah namanya sesaat lagi akan diresmikan.

Upacara Ngenteg Linggih bertujuan untuk membangun pelinggih, mensakralkan dan melaksanakan ide sang yang widi wasa dan manivestasi-manivestasinya sehingga bangunan tersebut memenuhi syarat sebagai niase atau tempat pemujaan.

Seluruh sesajen yang ditandu diturunkan untuk dibersihkan. Nantinya tempat yang belum rampung ini akan menjadi pemandian atau tempat pembersihan. Upacara ini sebagai ungkapan seluruh umat merendahkan diri kepada Yang Kuasa.

Tarian Rejang Dewa kembali memimpin pawai menuju pura. Iring-iringan kembali memasuki area Mandala Utama. Hari ini yang datang lebih ramai. Sehingga area Mandala Utama tidak bisa menampungnya.

Banyak yang akhirnya terpaksa menempati posisi diluar area pura utama. Sambil menanti saatnya berdoa, tarian Topeng Sidekarya menjadi hiburan tersendiri. Selain itu juga ada keelokan tari Rejang Dewa yang merupakan tari sakral dilakoni gadis remaja masih suci.

Tarian ini bertujuan mengundang dewa dan dewi dari langit agar hadir menyaksikan prosesi ini. Tirta atau air suci yang dipercikan para pemangku kepada jemaat menandakan saat berdoa akan segera dimulai. 10 pedange akan memuput upacara ini.

Kini saatnya seluruh batare diturunkan lagi lalu membentuk barisan pawai, kembali turun ke luar pura utama. Ritual ini menyimbolkan para batare meninjau tempat.

Belumlah upacara usai, hujan turun dengan lebat. Kondisi yang umum terjadi di Bogor yang memang dikenal sebagai kota hujan.
Tapi hujan kali ini dianggap berkah tersendiri untuk upacara Ngenteg Linggih. Hujan di puncak acara dipercaya mengambarkan limpahan berkah akan tercurah bagai hujan yang lebat.

Karena itulah walau hujan lebat upacara tetap berlangsung. Ritual yang dilakukan di Balai Peselang ini adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diberikan kepada umat. Akhirnya seluruh upacara puncak hari ini usai digelar.

Kini pura ini resmi menyandang nama Pura Parahyangan Agung Jagatkarta Tamansari Gunung Salak. Wujud pengakuan akan sejarah yang mewarisi ajaran leluhur sambil terus berupaya mengamalkannya secara benar sesuai agama Hindu.

Sumber :
http://news.indosiar.com/news_read.htm?id=47042

BERITA TERKINI

ARSIP POST